Rabu, 13 Januari 2010

Metode Penelitian Kualitatif

Secara harfiah, sesuai dengan namanya, penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur kuantifikasi, perhitungan statistik, atau bentuk cara-cara lainnya yang menggunakan ukuran angka (Strauss dan Corbin, 1990 dalam Hoepfl, 1997 dan Golafshani, 2003). Kualitatif berarti sesuatu yang berkaitan dengan aspek kualitas, nilai atau makna yang terdapat dibalik fakta. Kualitas, nilai atau makna hanya dapat diungkapkan dan dijelaskan melalui linguistik, bahasa, atau kata-kata. Oleh karena itu, bentuk data yang digunakan bukan berbentuk bilangan, angka, skor atau nilai; peringkat atau frekuensi; yang biasanya dianalisis dengan menggunakan perhitungan matematik atau statistik (Creswell, 2002).

Menurut Creswell (2003), pendekatan kualitatif adalah pendekatan untuk membangun pernyataan pengetahuan berdasarkan perspektif-konstruktif (misalnya, makna-makna yang bersumber dari pengalaman individu, nilai-nilai sosial dan sejarah, dengan tujuan untuk membangun teori atau pola pengetahuan tertentu), atau berdasarkan perspektif partisipatori (misalnya: orientasi terhadap politik, isu, kolaborasi, atau perubahan), atau keduanya. Lebih jelasnya, pengertian tersebut adalah sebagai berikut:

* A qualitative approach is one in which the inquirer often makes knowledge
claims based primarily on constructivist perspectives (i.e. the multiple
meanings of individual experiences, meanings socially and historically
constructed, with an intent of developing a theory or pattern) or advocacy/
participatory perspectives (i.e. political, issue-oriented, collaborative or
change oriented) or both (Creswell, 2003, hal.18).

Lebih jauh, Creswell menjelaskan bahwa di dalam penelitian kualitatif, pengetahuan dibangun melalui interprestasi terhadap multi perspektif yang berbagai dari masukan segenap partisipan yang terlibat di dalam penelitian, tidak hanya dari penelitinya semata. Sumber datanya bermacam-macam, seperti catatan observasi, catatan wawancara pengalaman individu, dan sejarah.

Penelitian yang menggunakan penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami obyek yang diteliti secara mendalam. Lincoln dan Guba (1982) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif bertujuan untuk membangun ideografik dari body of knowledge, sehingga cenderung dilakukan tidak untuk menemukan hukum-hukum dan tidak untuk membuat generalisasi, melainkan untuk membuat penjelasan mendalam atau ekstrapolasi atas obyek tersebut.

Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang bertujuan memperoleh teori-teori atau hukum-hukum hubungan kausalitas yang general yang memungkinkan peneliti melakukan prediksi dan pengendalian seperti yang dilakukan pada penelitian ilmu alam, penelitian kualitatif berupaya membangun pemahaman (verstehen) dan penjelasan atas perilaku manusia sebagai mahkluk sosial (Muhadjir, 2000).

Penelitian kualitatif bermaksud menggali makna perilaku yang berada dibalik tindakan manusia. Interpretasi makna terhadap perilaku ini tidak dapat digali melalui verifikasi teori sebagai generalisasi empirik, seperti yang dilakukan pada panelitian kuantitatif. Dengan kata lain, penelitian kualitatif bermaksud memahami obyeknya, tetapi tidak untuk membuat generalisasi melainkan membuat ekstrapolasi atas makna di balik obyeknya tersebut. Para peneliti kualitatif mengungkapkan dan menjelaskan kenyataan adanya makna yang menyeluruh dibalik obyek yang ditelitinya, yang terbentuk dari keterhubungan berbagai nilai-nilai kehidupan dan kepercayaan, bukan dari ekstrasi atau turunan dari konteks pengertiannya yang menyeluruh, seperti pernyataan David dan Sutton (2004) berikut ini:

* The qualitative researcher is more interested in the fact that meanings come in packages, wholes, ways of life, belief system and so on. Attention to ‘meanings; in this sense is a reference to the ‘holistic’ fabic of interconnected meaning that form a way of life and wich cannot remain meaningful if they are extracted and broken down into separate units outside of their meaningful context (David dan Sutton, 2004, hal. 35).

Untuk mengkaji realita kehidupan secara menyeluruh, tidak dapat dilakukan hanya melalui pengalaman seseorang yang bersifat individual, tetapi harus melalui mempertimbangkan jalinan antar individu anggota kelompok masyarakat yang diteliti. Kehidupan itu sendiri terdiri dari unit-unit, baik individu maupun kelompok yang saling terkait dalam suatu jaringan yang saling mendukung dan melengkapi, sehingga tidak dapat hanya dipandang dari satu sisi saja. Pada dasarnya, untuk menggambarkan kehidupan manusia, kajian penelitian tidak dapat dilakukan dengan memisahkan dan mereduksinya menjadi unit-unit yang saling terpisah, seperti yang dilakukan pada penelitian kuantitatif. Singkatnya, mengkaji kehidupan manusia secara holistik dapat lebih bermakna daripada melihatnya dalam kondisi terpisah-pisah. Hal tersebut seperti dijelaskan dalam pernyataan berikut ini:

* Qualitative research claims to describe lifeworlds ‘from the inside out’, from the point of view of the people who participate. By so doing it seeks to contribute to a better understanding of social realities and to draw attention to processes, meaning patterns and structural features. Those remain closed to non-participants, but are also, as a rule, not consciously known by actors caught up in their unquestioned daily routine (Flick, Kardorff, dan Steinke, 2004, hal. 3).

Pendekatan kualitatif berasumsi bahwa manusia adalah makhluk yang aktif yang mempunyai kebebasan berkemauan dan berkehendak, yang perilakunya hanya dapat dipahami dalam konteks budayanya, dan perilakunya yang seringkali tidak didasarkan oleh hukum sebab-akibat seperti yang terdapat pada hukum-hukum alam. berbeda dengan benda yang sekedar dapat bergerak seperti yang diamati dalam penelitian ilmu alam, manusia adalah mahkluk sosial yang dapat bertindak dan berkehendak atas dasar berbagai alasan-alasan humanistik, sehingga seringkali tidak dapat dijelaskan melalui pendekatan yang mekanistik. Karena pada dasarnya manusia tidak sepenuhnya merupakan benda atau mahkluk yang mekanistis, cara-cara mekanistik yang menggunakan pendekatan kuantifikasi tidak tepat digunakan untuk menelitinya.

Untuk mencapai hal tersebut, penelitian kualitatif lebih menekankan pada bahasa atau linguistik sebagai sarana penelitiannya. Sarana bahasa lebih mampu untuk mengungkapkan perasaan, nilai-nilai yang berada dibalik perilaku manusia (Lawson dan Garrod dalam Daivid dan Sutton, 2004). Keunikan manusia sebenarnya bukanlah terletak pada kemampuan berpikirnya, melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa (Suriasumantri, 2007). Bahasa merupakan cerminan ungkapan perasaan dan nilai-nilai manusia.

Manusia hidup adalah manusia yang memiliki kemampuan untuk mengungkapkan perasaan dan pikirannya ke dalam bentuk perbuatan dan pengunkapan linguistik, baik lisan maupun tertulis. Tindakan dan ucapan merupakan satu kesatuan yang dibutuhkan untuk merefleksikan perasaan dan pikiran seseorang. Jatidiri manusia pada prinsipnya berkaitan erat dengan fungsi dirinya sebagai pemakai bahasa. Tanpa kemampuan berbahasa yang baik, manusia tidak mampu berpikir dan mengungkapkan hasilnya secara sistematis dan teratur.

Disamping itu, bahasa mencerminkan tradisi, nilai dan budaya masyarakat yang menggunakannya. Makna dibalik bahasa yang digunakan suatu masyarakat mencerminkan konteks budaya dan lingkungannya. Perilaku tindakan dan penggunaan bahasa merupakan satu kesatuan yang membentuk norma-norma yang diciptakan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, melalui sarana bahasa, penelitian kualitatif mampu mengangkat pluralisasi hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan secara lebih mendalam (Flick, 2002). Sarana ukuran atau angka yang dipergunakan dalam penelitian kuantitatif memang bersifat obyektif, solid, tidak terbantahkan dan obyektif, tetapi tidak dapat menggambarkan detail-detail penjelasan perbedaan dalam cara memandang terhadap makna secara mendalam.

Sementara itu, meskipun penggunaan sarana bahasa di dalam penelitian kualitatif dianggap menyebabkan hasil penelitian bersifat subyektif, tetapi biasanya kaya akan detail makna yang berada dibalik tradisi, budaya dan perilaku manusia dan masyarakat yang diteliti. Subyektifitas itu sendiri secara alamiah muncul karena hasil penelitian sangat terkait dengan konteks lingkungan penelitian, sehingga memiliki perbedaan terhadap hasil penelitian yang terdapat di tempat lain.

Agar mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang makna yang berada dibalik obyek yang diteliti, Denzin dan Lincoln (1994) menyatakan bahwa penelitian kualitatif harus dilaksanakan pada kondisi alami. Guba dan Lincoln (1985) menyebut pendekatan penelitian yang demikian sebagai pendekatan naturalistik. Menurut pendekatan ini, data penelitian harus diperoleh pada kondisi dan situasi yang sebenarnya, atau bukan di laboratorium. Pengamatan pada lingkungan alami akan menunjukkan hubungan antara tindakan dan linguistik digunakan dalam kondisi yang sebenarnya secara alamiah, dengan konteks lingkungan yang mempengaruhinya. Jika pengamatan terhadap tindakan dan bahasa dilakukan dil aboratorium, dapat diibaratkan seperti pengamatan yang dilakukan pada sebuah panggung sandiwara. Observasi penggunaan lingustik pada konteks alamiah yang sebenarnya dapat mengungkapkan fungsi lingustik tidak hanya sebagai alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan seseorang, tetapi menggambarkan peran pentingnya di dalam pemanfaatan nilai-nilai budaya dan tradisi di dalam kehidupan masyarakat yang sebenarnya.

Sebagian besar penulis dan peneliti mensyaratkan bahwa pengambilan data penelitian kualitatif harus dilakukan sedekat mungkin, bahkan beberapa metoda penelitian kualitatif, seperti metoda penelitian ethnografi, mensyaratkan penelitinya terlibat langsung di dalam setting yang ditelitinya, seperti yang dijelaskan oleh Patton (2001) berikut ini:

* Qualitative research uses a naturalistic approach that seeks to understand phenomena in context-specific settings, such as "real world setting [where] the researcher does not attempt to manipulate the phenomenon of interest" (Patton, 2001, hal. 39)

Oleh karena itu, data penelitian kualitatif tidak hanya berupa kondisi perilaku masyarakat yang diteliti, tetapi juga kondisi dan situasi lingkungan disekitarnya. Untuk mencapai hal tersebut jenis data yang digunakan bervariasi, diantaranya adalah pengalaman personal, introspektif, sejarah kehidupan, hasil wawancara, observasi lapangan, perjalanan sejarah dan hasil pengamantan visual, yang menjelaskan momen-momen dan nilai-nilai rutinitas dan problematik kehidupan setiap individu yang terlibat di dalam penelitian. Lebih jelasnya, perhatikan dua pengertian komprehensif penelitian kualitatif, berikut ini:

* Qualitative research is a situated activity that locates the observer in the world. It consists of a set interpretive, material practices transform the world. They turn the world into a series of representations, including filed notes, interviews, conversations, photographs, recordings, and memos to self. This means that qualitative researches study things in their natural settings, attempting to make sense of, or interpret, phenomena in terms of the meanings people bring to them (Denzin and Lincoln, 2005, hal. 3).
* Qualitative research is multimethod in focus, involving an interpretive, naturalistic approach to its subject matter. This means that qualitative researchers study things in their natural settings, attempting to make sense of, or interpret, phenomena in terms of the meanings people bring to them. Qualitative research involves the studied use and collection of a variety of empirical materials - case study, personal experience, introspective, life story, interview, observational, historical, interactional, and visual texts - that describe routine and problematic moments and meanings in individuals’ lives. Accordingly, qualitative research deploys wide range of interconnected methods, hoping always to get a better fix on the subject matter at hand (Denzin 1994, hal. 2).

Untuk memenuhi kebutuhan data yang beranekaragam tersebut, penelitian kualitatif menggunakan berbagai metoda pengumpulan data, seperti wawancara individual, wawancara kelompok, penaelitian dokumen dan arsip, serta penelitian lapangan. Antara metoda satu dengan yang lainnya tidak saling terpisah, tetapi saling berkaitan dan saling mendukung untuk menghasilkan data yang sesuai dengan kebutuhan. Data yang diperoleh dari suatu metoda disalingsilangkan dengan data yang diperoleh melalui metoda yang lain, sehingga menghasilkan data yang dapat dipercaya (valid) dan sesuai dengan kenyataan (reliabel).

Untuk menjalankan tuntutan metoda yang demikian, penelitian kualitatif menempatkan manusia sebagai figur terpenting dalam penelitian. Berbeda dengan penelitian kuantiatif yang menempatkan kuisener, rumus matematika dan statistik sebagai instrumen pengumpulan dan pengolahan data, penelitian kualitatif memposisikan manusia sebagai instrumen utama penelitian. Peneliti sebagai manusia berhubungan langsung dan tidak dapat dipisahkan dalam proses pengumpulan, analisis dan interpretasi data. Oleh karena itu, realita yang berhasil digali dan ditemukan melalui penelitian kualitatif sering dianggap bersifat subyektif, karena sangat tergantung dari kapasitas dan kredibilitas pihak-pihak yang terkait, baik peneliti maupun partisipan yang terlibat di dalamnya (Golafshani, 2003).

Untuk menghindari temuan yang subyektif, penelitian kualitatif menggunakan bermacam sumber data. Denzin dan Lincoln (2005) menjelaskan bahwa sumber data yang dipergunakan diantaranya adalah catatan lapangan, wawancara, percakapan, foto, rekaman dan berbagai artefak, dokumen atau arsip yang terdapat di lapangan. Setiap sumber data tersebut disalingsilangkan agar data yang diperoleh dapat dipercaya (valid) dan sesuai dengan kebutuhan (reliabel).

Untuk mencapai hal tersebut, metoda yang dipergunakan adalah metoda triangulasi, yaitu metoda yang menggunakan beberapa sumber data untuk mencapai konvergensi data sehingga mencapai data yang valid (Golafshani, 2003). Secara khusus, Lincoln dan Guba (1985), menyebut reabilitas di dalam penelitian kualitatif dipenuhi melalui kredibilitas (credibility) partisipan, konsistensi (consistent) dan transferabilitas (transferability) temuan. Sedangkan validitas dapat dicapai melalui kualitas (quality) data, ketepatan (rigor) dan kejujuran (trustworthiness) pengungkapannya.

Berdasarkan pembahasan di depan, maka secara hakikat keilmuan, karakteristik penelitian kualitatif dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Secara ontologis, penelitian kualitatif memandang realita terbentuk dari hakikat manusia sebagai subyek yang mempunyai kebebasan menentukan pilihan berdasarkan sistem makna individu. Oleh karena itu, fenomena sosial, budaya dan tingkah laku manusia tidak cukup dengan merekam hal-hal yang tampak secara nyata, melainkan juga harus mencermati secara keseluruhan dalam totalitas dengan konteksnya. Hal ini perlu dilakukan karena tingkah laku sebagai fakta tidak dapat dilepaskan atau dipisahkan begitu saja dari konteks yang melatarbelakanginya, serta tidak dapat disederhanakan ke dalam hukum-hukum tunggal yang bebas nilai dan bebas konteks. Subyek penelitian kualitatif adalah tingkah laku manusia sebagai individu yang menjadi anggota masyarakat. Di sini ditekankankan perspektif pandangan sosio-psikologis, yang sasaran utamanya adalah pada individu dengan kepribadiannya dan pada interaksi antara pendapat internal dan eksternal tingkah laku seseorang terhadap latar belakang kehidupan sosialnya.
Para peneliti kualitatif meyakini bahwa di dalam masyarakat terdapat keteraturan yang terbentuk secara alami seiring dengan perjalanan sejarah, yang dilatarbelakangi oleh nilai-nilai tertentu. Oleh karena itu, tugas peneliti adalah menemukan kebenaran dibalik keteraturan itu pada umumnya dan khususnya nilai-nilai yang melatarbelakanginya, bukan menciptakan atau membuat sendiri batasan-batasannya berdasarkan teori atau aturan yang ada. Jadi, pada hakikatnya penelitian kualitatif adalah satu kegiatan sistematis untuk melakukan eksplorasi atas teori dari fakta di dunia nyata, bukan untuk menguji teori atau hipotesis. Penelitian kualitatif tetap mengakui fakta empiris sebagai sumber pengetahuan tetapi tidak menggunakan teori yang ada sebagai landasan untuk melakukan verifikasi.
2. Secara epistemologis, di dalam penelitian kualitatif, proses penelitian merupakan sesuatu yang lebih penting dibanding dengan hasil yang diperoleh. Karena itu peneliti sebagai instrumen utama pengumpul data merupakan salah satu karakteristik utama penelitian kualitatif. Hanya dengan keterlibatan peneliti dalam proses pengumpulan datalah hasil penelitian dapat dipertanggungjawakan. Khusus dalam proses analisis dan pengambilan kesimpulan, paradigma kualitatif menggunakan induksi analitis dan ekstrapolasi. Induksi analitis adalah satu pendekatan pengolahan data ke dalam konsep-konsep dan kateori-kategori, jadi bukan dalam bentuk frekuensi. Untuk mencapai hal tersebut, sarana berpikir yang digunakan tidak dalam bentuk numerik, melainkan dalam bentuk deskripsi bahasa, yang ditempuh dengan cara merubah data ke dalam penjelasan-penjelasan yang bersifat formulatif. Sedangkan ekstrapolasi adalah suatu cara pengambilan kesimpulan yang dilakukan secara simultan pada saat proses induksi analitis dan dilakukan secara bertahap dari satu makna ke makna lainnya, kemudian dirumuskan suatu pernyataan teoritis.
3. Secara aksiologis, konsep atau teori yang diperoleh dari proses penelitian kualitatif dapat dimanfaatkan untuk membangun kehidupan suatu kelompok masyarakat yang berlandaskan kepada nilai-nilai dasar kehidupan mereka sendiri. Nilai-nilai yang digali melalui interaksi antara peneliti dengan partisipannya dapat menghasilkan teori lokal dan spesifik yang dapat merepresentasikan kehidupan sosial, budaya dan tradisi, yang terkritalisasi melewati sejarah kehidupan individu atau masyarakat yang diteliti. Pemanfaatan nilai-nilai spesifik tentu saja akan sangat sesuai dengan kehidupan individu atau masyarakat yang diteliti.
Apabila nilai-nilai yang bersifat lokal dan spesifik tersebut hendak digeneralisasikan dan dimanfaatkan pada lokasi atau kasus yang lain, harus melalui proses khusus yang disebut sebagai transferabilitas. Proses tranferabilitas biasanya dilakukan melalui serangkaian proses dialog teori yang memperbandingkan antara konsep atau teori yang ditemukan dengan teori yang ada dan telah diakui. Melalui proses tersebut, nilai-nilai yang bersifat lokal, spesifik dan kontekstual dapat di dkonfirmasikan terhadap teori-teori general sebagai upaya untuk memberikan ilustrasi kontribusinya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan manfaatnya di dalam pembangunan kehidupan masyarakat secara umum.

Promosi

A. Arti Definisi / Pengertian Promosi

Promosi adalah suatu usaha dari pemasar dalam menginformasikan dan mempengaruhi orang atau pihak lain sehingga tertarik untuk melakukan transaksi atau pertukaran produk barang atau jasa yang dipasarkannya.

B. Tujuan Promosi

1. Menyebarkan informasi produk kepada target pasar potensial
2. Untuk mendapatkan kenaikan penjualan dan profit
3. Untuk mendapatkan pelanggan baru dan menjaga kesetiaan pelanggan
4. Untuk menjaga kestabilan penjualan ketika terjadi lesu pasar
5. Membedakan serta mengunggulkan produk dibanding produk pesaing
6. Membentuk citra produk di mata konsumen sesuai dengan yang diinginkan.

C. Promotional Mix / Bauran Promosi

Bauran promosi merupakan gabugan dari berbagai jenis promosi yang ada untuk suatu produk yang sama agar hasil dari kegiatan promo yang dilakukan dapat memberikan hasil yang maksimal. Sebelum melakukan prmosi sebaiknya dilakukan perencanaan matang yang mencakup bauran promosi sebagai berikut :

1. Iklan seperti iklan koran, majalah, radio, katalog, poster, dll.
2. Publisitas positif maksimal dari pihak-pihak luar.
3. Promosi dari mulut ke mulut dengan memaksimalkan hal-hal positif.
4. Promosi penjualan dengan ikut pameran, membagikan sampel, dll.
5. Public relation / PR yang mengupayakan produk diterima masyarakat.
6. Personal selling / penjualan personil yang dilakukan tatap muka langsung.

Iklim Organisasi

Davis dan Newstrom (2001:25) memandang iklim organisasi sebagai kepribadian sebuah organisasi yang membedakan dengan organisasi lainnya yang mengarah pada persepsi masing-masing anggota dalam memandang organisasi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa iklim organisasi adalah serangkaian deskripsi dari karakteristik organisasi yang membedakan sebuah organisasi dengan organisasi lainnya yang mengarah pada persepsi masing-masing anggota dalam memandang organisasi.

Pendekatan Iklim Organisasi
James dan Jones dalam Toulson dan Smith (1994:455) membagi iklim organisasi dalam tiga pendekatan, yaitu:
a. Multiple measurement – organizational approach
Pendekatan ini memandang bahwa iklim organisasi adalah serangkaian karakteristik deskriptif dari organisasi yang mempunyai tiga sifat, yaitu: relatif tetap selama periode tertentu, berbeda antara organisasi satu dengan organisasi lainnya, serta mempengaruhi perilaku orang yang berada dalam organisasi tersebut. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi adalah ukuran, struktur, kompleksitas sistem, gaya kepemimpinan, dan arah tujuan organisasi.
b. Perseptual measurement – organizational attribute approach
Pendekatan ini juga memandang iklim organisasi sebagai atribut organisasi, tetapi pendekatan ini lebih menekankan penggunaan pengukuran persepsi daripada pengukuran secara obyektif seperti ukuran dan struktur organisasi.
c. Perseptual measurement – individual approach
Pendekatan ini memandang iklim sebagai serangkaian ringkasan atau persepsi global yang mencerminkan sebuah interaksi antara kejadian yang nyata dalam organisasi dan persepsi terhadap kejadian tersebut. Pendekatan ini menekankan pada atribut organisasi yang nyata ke sebuah ringkasan dari persepsi individu. Dengan pendekatan ini, variabel intervensi yang disebabkan oleh kejadian-kejadian baik yang dialami oleh individu maupun organisasi dapat mempengaruhi perilaku individu-individu tersebut. Oleh karena itu, iklim organisasi dapat berlaku sebagai variabel bebas maupun terikat.

Dimensi Iklim Organisasi
Toulson dan Smith (1994:457) menerangkan dalam jurnalnya bahwa konsep iklim organisasi pertama kali dikemukakan oleh Litwin dan Stringer pada tahun 1968. Iklim organisasi oleh Litwin dan Stringer, dijabarkan atau diukur melalui lima dimensi, yaitu:
a. Responsibility (tanggung jawab)
b. Identity (identitas)
c. Warmth (kehangatan)
d. Support (dukungan)
e. Conflict (konflik)
Pengertian dari masing-masing dimensi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tanggung Jawab
Tanggung jawab (responsibility) adalah perasaan menjadi pimpinan bagi diri sendiri, tidak selalu harus mengecek ulang semua keputusan yang diambil, ketika karyawan mendapat suatu pekerjaan, karyawan yang bersangkutan mengetahui bahwa itu adalah pekerjaannya (Toulson & Smith, 1994:457).
Tanggung jawab adalah kewajiban seseorang untuk melaksanakan fungsi yang ditugaskan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan pengarahan yang diterima (Flippo, 1996:103) atau tingkatan sejauh mana anggota organisasi bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang dibebankan (Cherrington, 1996:560).
Tanggung jawab berhubungan dengan delegasi, Handoko (2000:224) menyatakan bahwa delegasi dapat didefinisikan sebagai pelimpahan wewenang dan tanggung jawab formal kepada orang lain untuk menjalankan kegiatan tertentu. Delegasi wewenang adalah proses dimana para manajer mengalokasikan wewenang ke bawah kepada orang-orang yang melapor kepadanya. Empat kegiatan terjadi ketika delegasi dilakukan:
a. Pendelegasian menetapkan tujuan dan tugas pada bawahan.
b. Pendelegasian melimpahkan wewenang yang diperlukan untuk mencapai tujuan atau tugas
c. Penerimaan delegasi, baik implisit atau eksplisit, menimbulkan tanggung jawab.
d. Pendelegasian menerima pertanggungjawaban bawahan untuk hasil-hasil yang dicapai.
Agar delegasi menjadi efektif bagi bawahan diperlukan pedoman,
Handoko (2000:225), menggutip Stoner tentang pedoman delegasi yang efektif:
a. Prinsip skalar
Dalam proses pendelegasian harus ada wewenang yang jelas. Garis wewenang yang jelas akan membuat lebih mudah bagi setiap anggota organisasi mengetahui: kepada siapa dia dapat mendelegasikan, dari siapa dia akan menerima delegasi, dan kepada siapa dia harus memberikan pertanggungjawaban.
b. Prinsip kesatuan perintah
Prinsip ini menyatakan bahwa setiap bawahan dalam organisasi seharusnya melaporkan kepada seorang atasan. Pelaporan kepada lebih dari satu atasan membuat individu mengalami kesulitan untuk mengetahui kepada siapa pertanggungjawaban diberikan dan mana instruksi yang diikuti. Di samping itu, bawahan dapat menghindari pelaksanaan tugas yang jelek dengan alasan banyaknya tugas dari atasan yang lain.
c. Tanggung jawab, wewenang, dan akuntabilitas
Prinsip ini menyatakan bahwa tanggung jawab untuk tugas-tugas tertentu diberikan ke tingkatan organisasi yang paling bawah dimana ada cukup kemampuan dan informasi untuk menyelesaikannya serta diberi wewenang secukupnya. Bagian penting dari delegasi tanggung jawab dan wewenang adalah akuntabilitas. Penerimaan tanggung jawab dan wewenang berarti individu juga setuju untuk menerima tuntutan pertanggung jawaban tugas.
Dengan penjelasan di atas maka karyawan akan merasa senang menerima tanggung jawab yang diberikan atasannya, karena selain mendapat kejelasan mengenai batasan-batasan tugas yang diterimanya serta kepada siapa dia harus mempertanggung jawabkan hasil kerjanya, karyawan termotivasi untuk menerima tanggung jawab lain dan menyelesaikan tugas yang diterimanya dengan baik.

2. Identitas
Identitas (identity) adalah perasaaan memiliki (sense of belonging) terhadap perusahaan dan diterima dalam kelompok (Toulson & Smith, 1994:457).

3. Kehangatan
Kehangatan (warmth) adalah perasaan terhadap suasana kerja yang bersahabat dan lebih ditekankan pada kondisi keramahan atau persahabatan dalam kelompok yang informal, serta hubungan yang baik antar rekan kerja, penekanan pada pengaruh persahabatan dan kelompok sosial yang informal (Toulson & Smith, 1994:457).

4. Dukungan
Dukungan (support) adalah hal-hal yang terkait dengan dukungan dan hubungan antar sesama rekan kerja yaitu perasaan saling menolong antara manajer dan karyawan, lebih ditekankan pada dukungan yang saling membutuhkan antara atasan dan bawahan (Toulson & Smith, 1994:457).

5. Konflik
Konflik (conflict) merupakan situasi terjadi pertentangan atau perbedaan pendapat antara bawahan dengan pimpinan dan bawahan dengan bawahan. Ditekankan pada kondisi dimana manajer dan para pekerja mau mendengarkan pendapat yang berbeda. Kedua belah pihak bersedia menempatan masalah secara terbuka dan mencari solusinya daripada menghindarinya (Toulson & Smith,1994:457).

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Iklim Organisasi
Menurut Higgins (1994:477-478) ada empat prinsip faktor-faktor yang mempengaruhi iklim, yaitu :
a. Manajer/pimpinan
Pada dasarnya setiap tindakan yang diambil oleh pimpinan atau manajer mempengaruhi iklim dalam beberapa hal, seperti aturan-aturan, kebijakan-kebijakan, dan prosedur-prosedur organisasi terutama masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah personalia, distribusi imbalan, gaya komunikasi, cara-cara yang digunakan untuk memotivasi, teknik-teknik dan tindakan pendisiplinan, interaksi antara manajemen dan kelompok, interaksi antar kelompok, perhatian pada permasalahan yang dimiliki karyawan dari waktu ke waktu, serta kebutuhan akan kepuasan dan kesejahteraan karyawan.
b. Tingkah laku karyawan
Tingkah laku karyawan mempengaruhi iklim melalui kepribadian mereka, terutama kebutuhan mereka dan tindakan-tindakan yang mereka lakukan untuk memuaskan kebutuhan tersebut. Komunikasi karyawan memainkan bagian penting dalam membentuk iklim. Cara seseorang berkomunikasi menentukan tingkat sukses atau gagalnya hubungan antar manusia.
Berdasarkan gaya normal seseorang dalam hidup atau mengatur sesuatu, dapat menambahnya menjadi iklim yang positif atau dapat juga menguranginya menjadi negatif.
c. Tingkah laku kelompok kerja
Terdapat kebutuhan tertentu pada kebanyakan orang dalam hal hubungan persahabatan, suatu kebutuhan yang seringkali dipuaskan oleh kelompok dalam organisasi. Kelompok-kelompok berkembang dalam organisasi dengan dua cara, yaitu secara formal, utamanya pada kelompok kerja; dan informal, sebagai kelompok persahabatan atau kesamaan minat.
d. Faktor eksternal organisasi
Sejumlah faktor eksternal organisasi mempengaruhi iklim pada organisasi tersebut. Keadaan ekonomi adalah faktor utama yang mempengaruhi iklim. Contohnya dalam perekonomian dengan inflasi yang tinggi, organisasi berada dalam tekanan untuk memberikan peningkatan keuntungan sekurang-kurangnya sama dengan tingkat inflasi. Seandainya pemerintah telah menetapkan aturan tentang pemberian upah dan harga yang dapat membatasi peningkatan keuntungan, karyawan mungkin menjadi tidak senang dan bisa keluar untuk mendapatkan pekerjaan pada perusahaan lain. Di lain pihak, ledakan ekonomi dapat mendorong penjualan dan memungkinkan setiap orang mendapatkan pekerjaan dan peningkatan keuntungan yang besar, sehingga hasilnya iklim menjadi lebih positif.

Rabu, 23 Desember 2009

Proses Pengolahan Dokumen

Beberapa langkah pengolahan dokumen meliputi pemeriksaan atas dokumen-dokumen tersebut sampai mereka disusun pada masing-masing tempat penyimpanan dokumen menurut jenisnya masing-masing. Urutan langkahnya sbb:

1. Pemeriksaan Atas Dokumen Yang Rusak
- dokumen tersebut sesuai dengan yang dipesan/yang dibutuhkan oleh lembaga yang bersangkutan atau tidak ditinjau dari segi materinya, kemutakhiran data/faktanya, kompetensi/kualifikasi ataupun kewenangan penyusunnya, bentuk fisiknya (hardcover atau bukan) dan spesifikasi lainnya yang ditetapkan sebelumnya.
- Kondisi dokumen : lengkap atau tidak halamannya, tipografinya jelas atau tidak, gambar-gambarnya, grafik, lampiran yang kurang lengkap, dsb.
- Menyortir dokumen-dokumen yang masuk itu menurut kelompok jenisnya (buku, pamflet, brosur, leaflet, manuskrip, dst) untuk memudahkan penyelesaian administrasi (pembayaran rekening penagihan untuk mereka, pembuatan surat-surat jawaban, dsb), serta untuk kepentingan pemrosesan dokumen selanjutnya : inventarisasi, katalogisasi/pengindeksan, abstracting,dst.

2. Langkah-langkah Inventarisasi Dokumen
a. Semua jenis dokumen tanpa terkecuali harus dibubuhi tanda cap instansi/lembaga yang bersangkutan agar dapat diketahui dengan segera bahwa barang tersebut adalah milik lembaga ybs. Untuk dokumen tertentu seperti film, mikrofilm dsb cap dibubuhkan pada label yang ada pada kotak/sampulnya.
b. Pada sisi belakang halaman judul hendaknya diterakan cap agenda: tanggal penerimaan dokumen, nomor induk atau accession number (untuk dokumen yang berupa buku) dan keterangan-keterangan yang dianggap perlu, misalkan: harga buku, keterangan seperti sumbangan, hadiah, dsb.
c. Registrasikan dokumen tersebut. Dibagi menjadi 3 penanganan yakni : dokumen yang berupa buku, berupa majalah/harian, serta untuk dokumen yang berupa pamflet/brosur/leaflet.
d. Pembuatan katalog, indeks dan abstraksi
Untuk keterangan dan penjelasan lebih lengkap mengenai langkah-langkah dalam menginvetarisir berbagai dokumen, dapat dilihat dalam buku Pengantar Ilmu Dokumentasi karangan Soejono Trimo, MLS.

3. Sistem Penyimpanan Arsip (Filling)
Terdapat banyak cara penyimpanan arsip (filling) yang digunakan di lembaga-lembaga dan kantor-kantor. Beberapa sistem filling yang masih digunakan sampai dengan saat ini diantaranya:

Spindle file : filling paku pada sekitar abad 15 yang dilakukan dengan cara menusukkan surat/arsip di bagian tertentu secara kronologis atau berdasarkan urutan waktu. Biasanya untuk penyimpanan resep, nota-nota, resi, dll. yang sering digunakan di rumah sakit, apotik, toko-toko dan lain-lain.

Pigeon hole file : penyimpanan arsip didalam kotak seperti filling kabinet yang terbuka dengan menulis titel nama atau subjek di sebelah luarnya.

Bellows file : tahun 1860, penyimpanan file kedalam tempat seperti map yang berukuran besar yang didalamnya terbagi-bagi secara terurut baik angka ataupun huruf yang isinya sangat terbatas. Untuk kelompok arsip yang sedikit, urutan alfabetis yang ada dalam bellows file digunakan sebagai alat penyortiran.

Box file : penyimpanan file pada sekitar tahun 1875 yang berbentuk seperti sebuah buku yang dapat dibuka dari sebelah samping. Dimana di setiap box-nya diisi satu set lembaran arsip yang terkelompok sesuai dengan labelnya dan tersusun secara alfabetis.

Shannon files : sistem penyimpanan file yang digunakan pada sekitar tahun 1880 yang pada awalnya digunakan untuk menyimpan arsip-arsip berharga agar aman. Shannon file selalu terdiri dua sisi lengkung terbuka di puncak papan di bagian depan atau belakang kotak. Arsip-arsip disimpan dengan cara dilobangi di sebelah atas, kemudian diletakkan di papan menurut susunan yang digunakan. Shannon file hanya cocok untuk menyimpan arsip yang jumlahnya hanya sedikit.

Vertikal file : dikenalkan oleh Dr. Nathaniel S. Rosenau pada tahun 1892. Ia percaya bahwa filing kartu buatannya pun dapat juga diterapkan untuk filing kertas, yakni dengan cara menempatkan arsip di belakang guide. Setelah mengalami perbaikan sistem, vertical filling ternyata merupakan metoda terbaik yang banyak digunakan di perusahaan-perusahaan atau organisasi-organisasi.

Untuk memahami sistem filling pada umumnya perlu diketahui terlebih dahulu beberapa pengertian tentang filling, diantaranya:

a. Filling : aktivitas penyimpanan arsip ke dalam kotak file, folder atau alat lain menurut aturan yang telah direncanakan. Meliputi : pemberian indeks, pengkodean, penyusunan, penempatn arsip, kartu, kertas dan semua tipe arsip secara sistematis.
b. Manual filling : buku petunjuk yang memuat informasi secara detail tentang berbagai langkah filling dan pengelolaan arsip, termasuk aturan-aturan dan prosedur yang digunakan.
c. Prosedur : langkah-langkah dalam penyusunan arsip termasuk cara-cara alfabetis untuk nama orang atau organisasi, nama lokasi geografi, nama subjek, cara numerik, termasuk kronologis dan cara alfanumerik.
d. Sistem : bermakna suatu rencana pengelompokkan arsip oleh seperangkat peralatan filling.
e. Pengklasifikasian : nama lainnya yakni pemberian indeks; penandaan nama orang atau organisasi, nama lokasi geografi, subjek atau nomor sebagai dasar penyimpanan arsip yang bersangkutan.
f. Pengkodean : proses pembuatan tanda (menggaris-bawahi, tanda cek, melingkari atau tanda lain) yang menjadi identitas items (kelompok arsip) yang akan disimpan berdasarkan hasil pengkodean.
g. Unit : nama, inisial atau kata-kata yang digunakan dalam menentukan urutan alfabetis untuk penyimpanan arsip. Misalnya: nama Joan C. Brown, memiliki 3 unit yaitu Brown unit pertama, Joan unit kedua dan C unit ketiga.
h. Tunjuk silang : berupa semacam tanda yang menunjukkan lokasi arsip yang dimaksud. Merupakan catatan yang diletakkan di lembaran atau tab guide/folder untuk mengindikasikan adanya arsip yang tidak disimpan di tempat tersebut tetapi disimpan di tempat lain.
i. Guide : penyekat di dalam filling kabinet/rak file yang berfungsi mengelompokkan arsip berdasarkan urutan alfabetis, nomor dan kronologis. Guide akan membantu kita dalam mengetahui lokasi arsip secara tepat dan cepat. Terdapat beberapa jenis guide, yakni:
- guide primer : memberi petunjuk adanya kelompok utama,
- guide sekunder & tertier : guide yang memberi petunjuk adanya sub bagian dan sub-sub bagian kelompok utama,
- guide spesial/khusus : guide yang menunjukkan adanya bagian khusus,
- guide out : guide tanda keluar; berfungsi menggantikan folser yang keluar dari filling kabinet atau rak file dan menjadi tanda di dalam rak file atau filling kabinet sehingga diketahui arsip apa yang keluar dari filling kabinet atau rak file.
j. Folder : tempat arsip kertas atau plastik.
- folder misscellaneous : folder yang berisi arsip-arsip yang bervariasi, sebab satu item (subjek, nama, nomor) hanya berisi beberapa lembar (pada umumnya 1-5) sehingga belum pantas diletakkan dalam satu folder tersendiri (folder individual).
- Folder spesial : folder yang berisi arsip-arsip khusus (karena frekuensi penggunaannya, karena menyimpang dari dasar pengelompokkan, dsb).
k. Score : sebuah identitas atau sekelompok tanda yang terletak di dasar sebuah folder. Bisa bermakna tanda yang menunjukkan daya tampung folder.
l. Tab : bagian dari guide atau folder yang menonjol, yang dipakai untuk meletakkan tabel.
m. Posisi : lokasi tab di permukaan guide/folder yang dilihat dari kiri ke kanan. Posisi pertama ialah tab yang berada di sebelah paling kiri, posisi kedua ialah tab yang berada di posisi kedua dari sebelah kiri.
n. Label : judul atau identitas berkas yang ditulis di atas stiker kertas yang ditempelkan di tab folder atau guide. Label dapat diaplikasikan dengan variasi warna.
o. Judul : dapat berupa nama orang/organisasi, nama geografi, nama subjek, nomor, atau informasi lain yang diletakkan di tab folder/guide/bagian depan kotak filling.
p. Arsip aktif : arsip yang frekuensi penggunaannya tinggi dan digunakan secara langsung oleh organisasi yang bersangkutan dalam kegiatan bisnis sehari-hari. Pengelolaannya harus memenuhi syarat accessibility (cepat ditemukan kembali).
q. Penemuan kembali arsip.
r. Metode charge out : sebuah metode untuk menjaga susunan arsip ketika ia akan keluar atau dikembalikan ke filling kabinet/rak file. Proses pengambilan arsip yang mengikuti prosedur yang telah ditentukan disebut the cahrge out (kata kerja). Sedangkan yang berarti kata benda, the charge out berarti catatan yang menunjukkan siapa yang mengambil arsip, kapan materi itu dikembalikan, kapan diambil, dan lain-lain.
s. Prosedur follow up : langkah yang harus diambil setelah arsip keluar dari tempatnya yang berfungsi sebagai kontrol arsip yang dipinjam; meminta untuk mengembalikan arsip yang dipinjam.
t. Transfer : proses pemindahan arsip aktif dari ruangan file ke pusat arsip karena frekuensi penggunaannya telah menurun dan dianggap inaktif.
u. Retensi : jangka waktu penyimpanan arsip atau umur arsip yang pada umumnya ditentukan berdasarkan nilai guna arsip.
v. Pemusnahan : kegiatan memusnahkan arsip dengan cara dicacah, dibakar atau yang lain, sehingga arsip yang bersangkutan tidak dapat dikenali, baik bentuk fisik maupun informasinya.

Asas Pengorganisasian File

Masalah utama dalam pengorganisasian file adalah menentukan lokasi filling, apakah sentralisasi atau desentralisasi. Penentuan azas pengorganisasian file di suatu lembaga/organisasi juga harus sesuai dengan lembaga yang bersangkutan sehingga dapat mencapai prinsip efisiensi dan efektifitas. Faktor-faktor yang dapat dipakai sebagai dasar penentuan azas pengorganisasian file yaitu:

1. Lokasi : lokasi unit-unit kerja yang membutuhkan arsip.
2. Volume : jumlah arsip yang dikelola, jumlah kertas dalam setiap folder atau kotak atau rak dan lain-lain, serta pengembangan volumenya.
3. Identifikasi : faktor yang terkait dengan tipe dan kompleksitas arsip yang dikelola sehingga kita dapat mengenali seluruh arsip dalam bentuk berkas-berkas yang utuh dan sistematis. Hal ini juga terkait dengan media arsip yang dikelola, baik berbentuk kertas, disket, film, dan lain-lain.

Jenis-jenis Sistem Filling
Sistem filling adalah pengaturan dan penyimpanan arsip aktif secara logis dan sistematis, menggunakan nomor, huruf atau kombinasi nomor dan huruf sebagai identitas arsip yang bersangkutan.
Jenis-jenis filling pokok yang sering digunakan di kantor-kantor:
a. Sistem filling alfabetis : sistem penyimpanan arsip dinamis aktif menggunakan metode penyusunan secara alfabetis. Dua dasar penyusunan sistem ini adalah penyusunan kamus dan penyusunan ensiklopedi.
1. Sistem filling numerik : sistem penyimpanan arsip yang dilakukan berdasarkan nomor atau kode nomor.
b. Sistem filling alfanumerik : pengaturan arsip berdasarkan kombinasi huruf dan angka.
c. Sistem filling kronologis : sistem penyimpanan arsip yang didasarkan pada tanggal.

Dokumen Tekstual Lembaran Lepas

A. Dokumen Tekstual Lembaran Lepas (Surat)
Jenis dan macam keadaan dokumen yang berwujud lembaran di lingkungan lembaga pemerintah dan lembaga swasta jumlahnya sangat banyak. Kantor pemerintahan dan swasta umumnya memiliki pedoman penataan dokumen lembaran yang dikenal dengan istilah pedoman kearsipan. Dalam pedoman kearsipan ini dapat diikuti pedoman penataan arsip yang harus dilaksanakan dalam praktek nyata pengelolaan arsip.

Pemerintah dalam masalah kearsipan telah memberi perhatian besar, sehingga dikeluarkanlah UU. No.7 tahun 1971 yang mengatur ketentuan-ketentuan pokok kearsipan sebagai landasan hukum masalah kearsipan di Indonesia. Garis besar isi UU. No.7/1971 adalah sebagai berikut:
Bab I Ketentuan Umum : tentang arti, fungsi dan tujuan arsip.
Bab II Tugas Pemerintah atas : arsip pemerintah, pengamanan arsip badan swasta/perseorangan, penertiban arsip dinamis, pengelolaan arsip statis, peningkatan mutu kearsipan nasional, serta pembinaan arsip statis.
Bab III Organisasi kearsipan : terdiri dari pembentukan organisasi kearsipan di lembaga negara dan badan pemerintah pusat dan daerah, pembentukan arsip nasional dan daerah.
Bab IV Kewajiban Kearsipan : meliputi pemeliharaan arsip lembaga negara dan badan pemerintah pusat dan daerah, pemeliharaan arsip badan swasta/perseorangan, pengelolaan arsip, penyerahan arsip ke Arnas daerah/pusat.
Bab V Ketentuan Pidana : selama 10 tahun, seumur hidup, 24 tahun.
Bab VI Penutup : memuat hal yang belum diatur akan diatur, penetapan berlakunya.

Selain itu, untuk merealisasi permasalahan kearsipan maka dengan Keputusan Presiden No.26 tahun 1974 ditetapkan Lembaga Pemerintah non Departemen yaitu Arsip Nasional. Kedudukan arsip nasional seperti yang diatur dalam Bab I pada Kepres tersebut menjelaskan kedudukan, tugas pokok dan fungsi Arnas. Kedudukan Arnas : berkedudukan di Jakarta; kedudukan lembaga di bawah presiden; dan bertanggung jawab kepada presiden. Tugas pokok Arnas : menyelenggarakan kearsipan nasional; mengembangkan kearsipan nasional; dan membina kearsipan nasional. Fungsi Arnas : litbang kearsipan nasional dan tenaga kerja kearsipan; pengembangan dan pembinaan kearsipan dinamis; menerima, menyimpan, merawat, mengamankan arsip statis yang diterima dari berbagai badan atau perseorangan; pengelolaan arsip statis; kooperasi, koordinasi dengan lembaga kearsipan dalam/luar negeri.

Salah satu dokumen yakni berupa dokumen tekstual yang berbentuk lembaran lepas, misalnya surat. Ada baiknya kita mengenal beberapa jenis surat yang sering digunakan di lingkup organisasi pemerintah maupun niaga. Terdapat berbagai jenis surat seperti penggolongan yang dikemukakan pada buku “Surat Bisnis Modern” seperti:
a. Berdasarkan atas dasar isi dan asal surat :
- surat resmi atau surat dinas pemerintah
- surat niaga
- surat pribadi
b. Menurut maksud dan tujuan :
- surat pemberitahuan
- surat keputusan
- surat perintah
- surat permohonan
- surat peringatan
- surat penawaran dan sebagainya
c. Berdasarkan jaminan dan kemananan isinya :
- surat sangat rahasia
- surat rahasia
- surat konfidensial
- surat biasa
d. Atas dasar urgensi penyelesaiannya ;
- surat kilat khusus
- surat amat segera
- surat segera
- surat biasa

Sedangkan penggolongan jenis surat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 71 Tahun 1993 tentang Pedoman Umum Tata Persuratan Dinas adalah sbb:
a. Atas dasar keaslian surat :
- Asli, maksudnya lembaran yang ditujukan kepada instansi sebagaimana tercantum pada alamat yang dituju atau lembaran yang dinyatakan sebagai asli.
- Tembusan, yaitu tindasan atau carbon copy.
- Salinan atau turunan, yaitu lembaran hasil penggandaan.
- Petikan atau kutipan, yaitu lembaran yang berisi beberapa bagian yang diambil dari surat asli.
b. Atas dasar bobot informasinya :
- surat penting
- surat biasa
c. Berdasarkan pengamanan informasi :
- sangat rahasia
- rahasia
- terbatas
- biasa
d. Berdasarkan penyampaian surat :
- sangat segera

Konsep Umum Klasifikasi

Buku-buku, media, dokumen atau bahan informasi lain yang ada di perpustakaan, terutama yang jumlah koleksinya cukup besar, pada umumnya disusun berdasarkan sistem tertentu, dan umumnya dalam bentuk sistem klasifikasi. Klasifikasi merupakan aspek formal dari buku-buku, media, dokumen, atau koleksi lain yang ada di perpustakaan. Dengan demikian, tanpa klasifikasi, buku, media, dokumen, atau koleksi lain yang ada di perpustakaan, akan sangat sulit ditemukan, apalagi jika jumlah koleksinya sudah sangat banyak.
Berbagai sistem klasifikasi yang kita kenal menurut sejarah, berasal dari pinakes, yaitu suatu katalog untuk menempatkan subjek umum. Ini ditemukan oleh Callimachus pada perpustakaan Alexandria (Iskandariyah, Mesir). Ia mengklasifikasikan buku sampai pada sistem nomor seperti sekarang, termasuk sistem huruf dan lambang-lambang, atau kombinasi ketiganya: nomor, huruf, dan lambang.
Namun demikian, apapun bagan yang dipilih, atau seberapa besar koleksi yang ada, tujuan klasifikasi adalah untuk memudahkan pencarian suatu buku, media, dokumen, atau koleksi lain yang ada di perpustakaan. Hal ini penting sekali terutama jika sifat bukunya sangat heterogen.
Klasifikasi adalah alat untuk mempermudah pencarian buku atau dokumen, dan oleh karena itu ia perlu menempatkan buku-buku atau dokumen lain tentang sejarah nasional, tentang sibernetika dan bidang studi berkaitan, serta bidang-bidang lain yang memiliki sifat yang sama, ditempatkan pada tempat yang sama atau saling berdekatan. Hal ini dapat membantu para pencari buku atau dokumen lain mempercepat penemuannya, apalagi dalam perpustakaan yang memberlakukan sistem rak terbuka. Yang penting, klasifikasi harus sanggup menempatkan karya-karya yang saling berkaitan ke dalam tempat yang berdekatan. Dengan demikian, maka juga terjadi sebaliknya, bahwa karya-karya yang saling berjauhan atau bidang-bidang yang tidak memiliki ciri dan sifat yang sama (berlainan sifat dan cirinya), ditempatkan ke dalam tempat yang saling berjauhan.
Banyak bagan klasifikasi yang ada, namun setiap bagan pada akhirnya menuntun para pengguna kepada buku, media, atau koleksi lain yang dibutuhkannya, khususnya pada sistem layanan terbuka, serta bagi para petugas dan pustakawan dalam mencari buku atau dokumen lain untuk kepentingan penggunanya/pelanggannya. Pada yang terakhir ini terutama pada sistem rak tertutup. Mana yang baik di antara sistem terbuka dan tertutup tersebut, tidak perlu dipertentangkan, karena masing-masing sistem mempunyai keunggulan dan kelemahannya sendiri. Pada sistem rak terbuka, misalnya, pengguna bisa terdorong untuk melakukan browsing (melihat-lihat secara umum dan sepintas) jajaran koleksi perpustakaan secara langsung, dan oleh karena itu konsep ini dapat merangsang kesadaran intelektual.
Sementara itu, pada sistem rak tertutup, bisa mengurangi salah tangan, salah penempatan, dan pencurian buku. Pada sistem tertutup ini diajarkan kepada pengguna untuk menyandarkan kepada petugas untuk mengambilkannya setelah melalui pencarian jenis dan bentuk buku atau koleksi lain melalui katalog.
Pada sistem rak terbuka, diperlukan suatu sistem klasifikasi yang logis dan komprehensif agar para pengguna dapat menemukan subjek secara bersama-sama pula. Memang tidak menjadi masalah, apapun sistem yang digunakan, sistem klasifikasi tetap perlu kartu katalog sebagai sumber utama referensi utama. Dan ia juga harus lengkap dan mutakhir. Kartu katalog memberikan akses terhadap buku-buku, dokumen, atau koleksi lain yang ada di perpustakaan berdasarkan nama pengarang, judul buku atau dokumen, atau subjek, serta memberikan atau menyediakan nomor buku guna menemukan tempat buku dalam raknya.
Dengan melihat kondisi seperti tersebut di atas, maka yang namanya klasifikasi dan katalog ibarat saudara sekandung, artinya yang satu menjadi pelengkap yang lainnya. Klasifikasi tanpa katalog, tidak sempurna, juga sebaliknya, katalog tanpa klasifikasi, kurang berguna.
Perlu diingat di sini bahwa yang namanya klasifikasi adalah satu istilah yang digunakan untuk suatu proses yang bisa bermakna dalam rangka membuat skema atau bagan klasifikasi, dan termasuk juga kegiatan mengklasifikasikan suatu dokumen atau media sumber informasi. Guna memahami masalah-masalah teoretis tentang klasifikasi perpustakaan, maka secara singkat kita perlu membicarakan pengertian klasifikasi pengetahuan secara umum, atau yang sering disebut sebagai klasifikasi filosofis.
Secara sederhana, bagan atau skema klasifikasi didefinisikan sebagai suatu susunan kelompok kelas, suatu kelas tertentu yang kemudian dibagi ke dalam golongan-golongan yang mempunyai sifat dan ciri sama. Artinya pengelompokan berdasarkan ciri dan sifat yang sama. Ciri atau karekteristik di sini maksudnya adalah sifat pengelompokan konsep-konsep atau subjek yang terbagi-bagi sesuai dengan ciri yang dimilikinya. Dengan demikian, maka tujuan klasifikasi dalam hal ini adalah menempatkan benda-benda yang memiliki sifat sama secara bersamaan (ke dalam tempat yang sama atau berdekatan), dan menempatkan secara terpisah benda-benda yang memiliki sifat dan ciri yang berbeda.
Seperti telah ditunjukkan oleh Shera dan Egan bahwa "tidak ada teori pengetahuan, dan oleh karena itu tidak ada susunan pengetahuan, jika tidak mengingat akan kemampuan melekat pada pikiran manusia dalam membentuk konsep-konsep; serta merasakan konsep-konsep di luar pengelompokan secara mental yang meliputi dan mengelola sejumlah konsep spesifik yang mungkin ada". Karena pengklasifikasian setiap jenis benda bergantung kepada kemampuan intelektual yang melekat ini, maka pengklasifikasi harus memulai dengan memahami secara eksplisit tentang konsep dan pengelompokan. Konsep adalah pengenalan akan pola-pola sifat (qualities), atau struktur, yang memungkinkan pikiran menyebutkan objek dalam kaitannya dengan kenyataan konsistensi yang bisa diulang-ulang.
Menurut Aristoteles (dalam Wynar, 1972 dan juga Buchanan, 1979), semua pengetahuan ilmiah terdiri atas pengelompokan fakta-fakta atau keterangan-keterangan (particulars) di bawah konsep kelas secara bersamaan, serta dalam menggabungkan konsep-konsep tadi ke dalam suatu sistem. Tujuan ilmu adalah suatu batasan yang dapat menjelaskan ciri subjek dengan sifat-sifat dasarnya, serta dengan membedakan sifat-sifat tersebut dari kelompok-kelompok lainnya. Dengan demikian, tujuan akhir ilmu adalah pengelompokan objek-objek pengetahuan secara lengkap ke dalam kelompok-kelompok kelas, mempertunjukkan semua kesamaan dan perbedaan dalam sifat-sifat berbagai kelas.
Konsep ilmu seperti ini dijelaskan oleh Aristoteles. Ia mengatakan bahwa definisi suatu konsep istilah atau kelas, harus merupakan suatu statement yang lengkap tentang:
(1) Sifat-sifat dasar kelas. Contohnya adalah orang. Orang adalah hewan yang mampu berbicara secara rasional.
(2) Sifat-sifat khusus orang. Contohnya adalah orang mampu tertawa.
(3) Genus lain yang lebih tinggi. Contohnya, orang adalah binatang.
(4) Sifat-sifat yang membedakan orang dari semua spesies binatang lainnya. Contohnya, manusia adalah orang yang mampu berbicara.
(5) Sesuatu yang kebetulan ada, yaitu sifat-sifat yang merupakan bukan bagian dari definisi, tetapi pada umumnya ada pada setiap kelas dan kelas-kelas lainnya. Contohnya, orang adalah objek materi.

Pengelompokan ala Aristetolian ini sudah cukup terkenal. Dalam menggolongkan pengetahuan semesta (universal), ahli filsafat membatasi sepuluh kelas (kelompok benda yang paling disukai) sebagai berikut:
1. zat (substance) 2. kuantitas 3. kualitas
4. hubungan 5. tempat 6. waktu
7. situasi/posisi 8. posesi* 9. aktualitas
10. passivitas * = barang milik atau karakter yang diperoleh.

Lebih jauh kita dapat menemukan epistemologinya Aristoteles dalam uraian Kant. Menurut Kant, selalu ada dua faktor dalam pengetahuan -- yaitu bahan mentah, yang merupakan pengalaman indera, dan kegiatan pikiran yang tersusun, terorganisasi atau terpadu (synthetic). Untuk memahami atau untuk mengindera penafsiran, atau penilaian, yaitu pembentukan konsep dan hukum yang merupakan susunan dan rangkaian, caranya adalah dengan memadukan atau menyusun isi persepsi indera. Bentuk-bentuk ini merupakan kategori atau pengelompokan, yaitu bentuk-bentuk pemikiran suatu objek secara universal dan fundamental serta hubungan-hubungan antar objek tadi. Melalui penggunaan kategori-kategori ini, pikiran membangun bahan persepsi indera ke dalam keseluruhan pengalaman yang jelas (intelligible), sistematis, dan tersusun rapi.
Kategori Kant ini sesuai dengan klasifikasi atau penafsiran di dalam logika tradisional, sebagai berikut:
(1) Kategori-kategori kuantitas
kesatuan
pluralitas
totalitas
(2) Kategori-kategori kualitas
realitas
ketiadaan (negation)
keterbatasan (limitation)
(3) Kategori-kategori hubungan
kemelekatan (inherence) dan penghidupan (subsistence) atau zat (substance).
kausalitas dan ketergantungan.
komunitas atau pertukaran kepengaruhan (reciprocity of causal influence).
(4) Kategori-kategori modalitas - pengandaian
kemungkinan - kemustahilan
keberadaan - ketiadaan
keperluan - kebetulan (contingency).

Untuk menggambarkan teori dan argumen Kant, berikut diberikan gambaran beberapa contoh kategori dalam bentuk penerapan:
1) Kesatuan. Pikiran menyatukan berbagai sensasi. Contohnya seperti warna, bentuk berat, ukuran, rasa, dsb. ke dalam kesatuan atau identitas yang namanya jeruk, misalnya.
2) Pluralitas. Untuk menghitung sekantong jeruk, pikiran harus mengulanginya, seperti katakanlah, dua belas kali. Mengenali identitas kesatuannya serta menambahkan atau memadukan masing-masing satu kepada jumlah yang sudah diakui sebelumnya.
3) Zat. Pikiran dapat mengakui perubahan hanya dengan menunjukkan segala sesuatu yang tetap/permanan. Tanpa adanya kesadaran tentang keabadian, maka tidak ada perubahan, juga sebaliknya. Dengan begitu, maka jika kita berpikir tentang suatu objek, sebuah meja, misalnya, kita dapat mengatakan perubahan penampilannya hanya jika kita mengakui keidentikannya bahwa ia berubah.
4) Kausalitas. Hubungan kausal adalah satu dari rangkaian urutan yang perlu dan tidak bisa dibalik-balik. A penyebab B, berarti A harus terjadi pertama sebelum kejadian B. Namun dari pengalaman indera kita sendiri, kita tidak dapat memperoleh ide dengan rangkaian yang perlu dan tidak bisa terbalik itu.

Sekarang jelas bahwa penggunaan atau penerapan seluruh kategori itu mempunyai arti harus selalu sintesis, terorganisasi atau tergabungkan, termasuk pada beberapa hal dalam pengalaman indera yang semrawut (chaotic) dan berjenis-jenis. Pengetahuan meliputi baik yang sintesis maupun yang analitis. Kita harus melihat benda secara bersama sebelum bagian-bagiannya; namun juga kita tidak bisa melihat benda bersama-sama kecuali kalau kita meletakkannya bersama-sama.

Konsep Umum Klasifikasi

Buku-buku, media, dokumen atau bahan informasi lain yang ada di perpustakaan, terutama yang jumlah koleksinya cukup besar, pada umumnya disusun berdasarkan sistem tertentu, dan umumnya dalam bentuk sistem klasifikasi. Klasifikasi merupakan aspek formal dari buku-buku, media, dokumen, atau koleksi lain yang ada di perpustakaan. Dengan demikian, tanpa klasifikasi, buku, media, dokumen, atau koleksi lain yang ada di perpustakaan, akan sangat sulit ditemukan, apalagi jika jumlah koleksinya sudah sangat banyak.
Berbagai sistem klasifikasi yang kita kenal menurut sejarah, berasal dari pinakes, yaitu suatu katalog untuk menempatkan subjek umum. Ini ditemukan oleh Callimachus pada perpustakaan Alexandria (Iskandariyah, Mesir). Ia mengklasifikasikan buku sampai pada sistem nomor seperti sekarang, termasuk sistem huruf dan lambang-lambang, atau kombinasi ketiganya: nomor, huruf, dan lambang.
Namun demikian, apapun bagan yang dipilih, atau seberapa besar koleksi yang ada, tujuan klasifikasi adalah untuk memudahkan pencarian suatu buku, media, dokumen, atau koleksi lain yang ada di perpustakaan. Hal ini penting sekali terutama jika sifat bukunya sangat heterogen.
Klasifikasi adalah alat untuk mempermudah pencarian buku atau dokumen, dan oleh karena itu ia perlu menempatkan buku-buku atau dokumen lain tentang sejarah nasional, tentang sibernetika dan bidang studi berkaitan, serta bidang-bidang lain yang memiliki sifat yang sama, ditempatkan pada tempat yang sama atau saling berdekatan. Hal ini dapat membantu para pencari buku atau dokumen lain mempercepat penemuannya, apalagi dalam perpustakaan yang memberlakukan sistem rak terbuka. Yang penting, klasifikasi harus sanggup menempatkan karya-karya yang saling berkaitan ke dalam tempat yang berdekatan. Dengan demikian, maka juga terjadi sebaliknya, bahwa karya-karya yang saling berjauhan atau bidang-bidang yang tidak memiliki ciri dan sifat yang sama (berlainan sifat dan cirinya), ditempatkan ke dalam tempat yang saling berjauhan.
Banyak bagan klasifikasi yang ada, namun setiap bagan pada akhirnya menuntun para pengguna kepada buku, media, atau koleksi lain yang dibutuhkannya, khususnya pada sistem layanan terbuka, serta bagi para petugas dan pustakawan dalam mencari buku atau dokumen lain untuk kepentingan penggunanya/pelanggannya. Pada yang terakhir ini terutama pada sistem rak tertutup. Mana yang baik di antara sistem terbuka dan tertutup tersebut, tidak perlu dipertentangkan, karena masing-masing sistem mempunyai keunggulan dan kelemahannya sendiri. Pada sistem rak terbuka, misalnya, pengguna bisa terdorong untuk melakukan browsing (melihat-lihat secara umum dan sepintas) jajaran koleksi perpustakaan secara langsung, dan oleh karena itu konsep ini dapat merangsang kesadaran intelektual.
Sementara itu, pada sistem rak tertutup, bisa mengurangi salah tangan, salah penempatan, dan pencurian buku. Pada sistem tertutup ini diajarkan kepada pengguna untuk menyandarkan kepada petugas untuk mengambilkannya setelah melalui pencarian jenis dan bentuk buku atau koleksi lain melalui katalog.
Pada sistem rak terbuka, diperlukan suatu sistem klasifikasi yang logis dan komprehensif agar para pengguna dapat menemukan subjek secara bersama-sama pula. Memang tidak menjadi masalah, apapun sistem yang digunakan, sistem klasifikasi tetap perlu kartu katalog sebagai sumber utama referensi utama. Dan ia juga harus lengkap dan mutakhir. Kartu katalog memberikan akses terhadap buku-buku, dokumen, atau koleksi lain yang ada di perpustakaan berdasarkan nama pengarang, judul buku atau dokumen, atau subjek, serta memberikan atau menyediakan nomor buku guna menemukan tempat buku dalam raknya.
Dengan melihat kondisi seperti tersebut di atas, maka yang namanya klasifikasi dan katalog ibarat saudara sekandung, artinya yang satu menjadi pelengkap yang lainnya. Klasifikasi tanpa katalog, tidak sempurna, juga sebaliknya, katalog tanpa klasifikasi, kurang berguna.
Perlu diingat di sini bahwa yang namanya klasifikasi adalah satu istilah yang digunakan untuk suatu proses yang bisa bermakna dalam rangka membuat skema atau bagan klasifikasi, dan termasuk juga kegiatan mengklasifikasikan suatu dokumen atau media sumber informasi. Guna memahami masalah-masalah teoretis tentang klasifikasi perpustakaan, maka secara singkat kita perlu membicarakan pengertian klasifikasi pengetahuan secara umum, atau yang sering disebut sebagai klasifikasi filosofis.
Secara sederhana, bagan atau skema klasifikasi didefinisikan sebagai suatu susunan kelompok kelas, suatu kelas tertentu yang kemudian dibagi ke dalam golongan-golongan yang mempunyai sifat dan ciri sama. Artinya pengelompokan berdasarkan ciri dan sifat yang sama. Ciri atau karekteristik di sini maksudnya adalah sifat pengelompokan konsep-konsep atau subjek yang terbagi-bagi sesuai dengan ciri yang dimilikinya. Dengan demikian, maka tujuan klasifikasi dalam hal ini adalah menempatkan benda-benda yang memiliki sifat sama secara bersamaan (ke dalam tempat yang sama atau berdekatan), dan menempatkan secara terpisah benda-benda yang memiliki sifat dan ciri yang berbeda.
Seperti telah ditunjukkan oleh Shera dan Egan bahwa "tidak ada teori pengetahuan, dan oleh karena itu tidak ada susunan pengetahuan, jika tidak mengingat akan kemampuan melekat pada pikiran manusia dalam membentuk konsep-konsep; serta merasakan konsep-konsep di luar pengelompokan secara mental yang meliputi dan mengelola sejumlah konsep spesifik yang mungkin ada". Karena pengklasifikasian setiap jenis benda bergantung kepada kemampuan intelektual yang melekat ini, maka pengklasifikasi harus memulai dengan memahami secara eksplisit tentang konsep dan pengelompokan. Konsep adalah pengenalan akan pola-pola sifat (qualities), atau struktur, yang memungkinkan pikiran menyebutkan objek dalam kaitannya dengan kenyataan konsistensi yang bisa diulang-ulang.
Menurut Aristoteles (dalam Wynar, 1972 dan juga Buchanan, 1979), semua pengetahuan ilmiah terdiri atas pengelompokan fakta-fakta atau keterangan-keterangan (particulars) di bawah konsep kelas secara bersamaan, serta dalam menggabungkan konsep-konsep tadi ke dalam suatu sistem. Tujuan ilmu adalah suatu batasan yang dapat menjelaskan ciri subjek dengan sifat-sifat dasarnya, serta dengan membedakan sifat-sifat tersebut dari kelompok-kelompok lainnya. Dengan demikian, tujuan akhir ilmu adalah pengelompokan objek-objek pengetahuan secara lengkap ke dalam kelompok-kelompok kelas, mempertunjukkan semua kesamaan dan perbedaan dalam sifat-sifat berbagai kelas.
Konsep ilmu seperti ini dijelaskan oleh Aristoteles. Ia mengatakan bahwa definisi suatu konsep istilah atau kelas, harus merupakan suatu statement yang lengkap tentang:
(1) Sifat-sifat dasar kelas. Contohnya adalah orang. Orang adalah hewan yang mampu berbicara secara rasional.
(2) Sifat-sifat khusus orang. Contohnya adalah orang mampu tertawa.
(3) Genus lain yang lebih tinggi. Contohnya, orang adalah binatang.
(4) Sifat-sifat yang membedakan orang dari semua spesies binatang lainnya. Contohnya, manusia adalah orang yang mampu berbicara.
(5) Sesuatu yang kebetulan ada, yaitu sifat-sifat yang merupakan bukan bagian dari definisi, tetapi pada umumnya ada pada setiap kelas dan kelas-kelas lainnya. Contohnya, orang adalah objek materi.

Pengelompokan ala Aristetolian ini sudah cukup terkenal. Dalam menggolongkan pengetahuan semesta (universal), ahli filsafat membatasi sepuluh kelas (kelompok benda yang paling disukai) sebagai berikut:
1. zat (substance) 2. kuantitas 3. kualitas
4. hubungan 5. tempat 6. waktu
7. situasi/posisi 8. posesi* 9. aktualitas
10. passivitas * = barang milik atau karakter yang diperoleh.

Lebih jauh kita dapat menemukan epistemologinya Aristoteles dalam uraian Kant. Menurut Kant, selalu ada dua faktor dalam pengetahuan -- yaitu bahan mentah, yang merupakan pengalaman indera, dan kegiatan pikiran yang tersusun, terorganisasi atau terpadu (synthetic). Untuk memahami atau untuk mengindera penafsiran, atau penilaian, yaitu pembentukan konsep dan hukum yang merupakan susunan dan rangkaian, caranya adalah dengan memadukan atau menyusun isi persepsi indera. Bentuk-bentuk ini merupakan kategori atau pengelompokan, yaitu bentuk-bentuk pemikiran suatu objek secara universal dan fundamental serta hubungan-hubungan antar objek tadi. Melalui penggunaan kategori-kategori ini, pikiran membangun bahan persepsi indera ke dalam keseluruhan pengalaman yang jelas (intelligible), sistematis, dan tersusun rapi.
Kategori Kant ini sesuai dengan klasifikasi atau penafsiran di dalam logika tradisional, sebagai berikut:
(1) Kategori-kategori kuantitas
kesatuan
pluralitas
totalitas
(2) Kategori-kategori kualitas
realitas
ketiadaan (negation)
keterbatasan (limitation)
(3) Kategori-kategori hubungan
kemelekatan (inherence) dan penghidupan (subsistence) atau zat (substance).
kausalitas dan ketergantungan.
komunitas atau pertukaran kepengaruhan (reciprocity of causal influence).
(4) Kategori-kategori modalitas - pengandaian
kemungkinan - kemustahilan
keberadaan - ketiadaan
keperluan - kebetulan (contingency).

Untuk menggambarkan teori dan argumen Kant, berikut diberikan gambaran beberapa contoh kategori dalam bentuk penerapan:
1) Kesatuan. Pikiran menyatukan berbagai sensasi. Contohnya seperti warna, bentuk berat, ukuran, rasa, dsb. ke dalam kesatuan atau identitas yang namanya jeruk, misalnya.
2) Pluralitas. Untuk menghitung sekantong jeruk, pikiran harus mengulanginya, seperti katakanlah, dua belas kali. Mengenali identitas kesatuannya serta menambahkan atau memadukan masing-masing satu kepada jumlah yang sudah diakui sebelumnya.
3) Zat. Pikiran dapat mengakui perubahan hanya dengan menunjukkan segala sesuatu yang tetap/permanan. Tanpa adanya kesadaran tentang keabadian, maka tidak ada perubahan, juga sebaliknya. Dengan begitu, maka jika kita berpikir tentang suatu objek, sebuah meja, misalnya, kita dapat mengatakan perubahan penampilannya hanya jika kita mengakui keidentikannya bahwa ia berubah.
4) Kausalitas. Hubungan kausal adalah satu dari rangkaian urutan yang perlu dan tidak bisa dibalik-balik. A penyebab B, berarti A harus terjadi pertama sebelum kejadian B. Namun dari pengalaman indera kita sendiri, kita tidak dapat memperoleh ide dengan rangkaian yang perlu dan tidak bisa terbalik itu.

Sekarang jelas bahwa penggunaan atau penerapan seluruh kategori itu mempunyai arti harus selalu sintesis, terorganisasi atau tergabungkan, termasuk pada beberapa hal dalam pengalaman indera yang semrawut (chaotic) dan berjenis-jenis. Pengetahuan meliputi baik yang sintesis maupun yang analitis. Kita harus melihat benda secara bersama sebelum bagian-bagiannya; namun juga kita tidak bisa melihat benda bersama-sama kecuali kalau kita meletakkannya bersama-sama.